Bukti kebandelanku
matahari menyeruak pagi itu, menampakan megahnya alam semesta. Ku lihat jam dinding yang menggantung pada papan kayu tepat dibelakang bilik kamar ibuku. Hari sudah menunjukkan jam 07.30 tetapi aku masih saja santai dan tidak takut terlambat ke sekolah.
Sarapan pagi sudah tersedia di meja makan yang terbuat dari bekas papan triplek itu. Ada nasi, lauk dan sayur kangkung pemberian hasil ladang dari pak Eri, bos tempat orangtuaku bekerja. Masih bersyukur bisa sarapan pagi ini, pikirku.
Pagi-pagi benar kedua orangtuaku sudah berangkat menuju ladang dan sawah milik pak Eri. Ayah bekerja di sawah dan ibu di ladang yang tak jauh dari rumahku.
Aku anak laki-laki dari tiga bersaudara. Ada dua adik perempuanku yang masih duduk dibangku SMP kelas VII dan SD kelas 5. Kedua adikku sudah dari tadi berangkat ke sekolah, kecuali aku yang masih ingin berleha-leha di kamar.
Aku sekolah SMK di derahku. Memilih SMK sebagai sekolah lanjutan atas karena aku ingin bekerja setelah tamat nanti. Dan juga ingin membahagiakan kedua orangtuaku.
Pagi itu, terlambat lagi. Aku tidak diperbolehkan masuk oleh satpam yang sudah tidak asing lagi dengan wajahku. Pak Ari adalah satpam di sekolah ku, ia terlihat sangar, tegas, dan disiplin.
“Rido, kamu terlambat lagi?” tanya pak Ari.
“Iya pak, saya bangun kesiangan pak”, jelasku pada pak Ari.
“Tidak bisa kamu cari alasan yang lain selain bangun kesiangan?” tegas pak Ari.
“Sekarang sudah jam berapa?” tanya pak Ari kembali.
“Jam 08.00 pak,” jawabku santai.
“Silakan kamu pulang dan bawa orangtuamu datang ke sekolah besok,” perintah pak Ari.
Aku langsung pergi menuju terminal yang tidak jauh dari sekolahku. Tampak uda Aldo lagi mengitung uang hasil narik angkot pertamanya pagi itu.
“Rido sekarang giliranmu narik,” ajak uda Aldo.
“Ok uda,” menyetujui ajakannya.
Tanpa basa-basi aku langsung mengganti seragam putihku dengan baju kaus yang sudah ku bawa dari rumah. Inilah kegiatanku jika aku terlambat datang ke sekolah. Uda Aldo mengajariku membawa mobil.
Aku duduk disebelahnya sambil memperhatikan tindak-tanduknya dalam mengemudikan mobil. Aku dipandu dan dibekali ilmu mengemudi. Setelah itu, dengan mantap ku praktekkan mengemudikan mobil itu.
Semenjak itulah aku pandai menyetir mobil. Daripada pulang ke rumah dan dimarahi oleh ibuku mendingan aku luangkan waktu mencari uang untuk sekedar jajan.
Aku termasuk anak yang sulit diatur. Terkadang aku bohongi orangtuaku. Mereka kira aku masuk sekolah, tetapi malah keluyuran diterminal.
Sampailah pada ujian kenaikan kelas, aku hanya bisa pasrah. Melihat kelakuanku selama ini yang tidak wajar, sering terlambat, cabut, dan suka merokok. Tak jarang aku keluar masuk ruangan BK. Terbawa arus lingkungan yang tidak baik. Tapi kenapa aku naik kelas juga.
Melihat tingkahku yang seperti itu, aku sempat berpikir. Jika akan seperti ini juga, aku tidak akan jadi orang. Malah menyusahkan orangtua terus. Aku teringat akan pesan ayah yang bilang padaku, tidak boleh mencuri dan jauhi narkoba.
Teringat akan amanat ayahku itu, aku memantapkan diri untuk pindah dari SMK ke SMA yang hanya berjarak 2 km dari sekolahku sebelumnya.
Aku minta tolong sama uda Aldo untuk mengurusi kepindahanku. Berpura-pura menjadi adik ayahku. Di satu sisi, aku tidak mau menambah beban orangtuaku yang bekerja membanting tulang sebagai petani demi menghidupi ketiga anaknya.
Mulailah uda Aldo melakukan penyamaran. Memberikan alasan kepindahan dan mengurus segala administrasinya. Aku pinjam uang uda Aldo untuk membeli seragam di sekolah yang baru.
Seminggu berlalu, aku mulai sadar dan mematuhi segala aturan yang berlaku di sekolah baruku itu. Datang tepat waktu, berpakaian yang rapi, ikut diskusi kelompok dengan teman dan menjadi anak yang baik.
***
“Rido, sudah seminggu ini ibu perhatikan kamu ada perubahan,” Ibuku menjelaskan.
“Perubahan apa bu?” ku balik bertanya pada ibu.
“Iya, biasanya kamu malas bangun pagi, tidak terlambat ke sekolah,” tambah ibuku.
“Oh itu bu, aku ingin berubah menjadi anak yang baik bu,” ku beri penjelasan pada ibu.
“Bagus itu nak, ibu berharap kamu akan menjadi orang yang sukses. Tidak seperti ibu dan ayah yang bekerja paruh waktu membantu pak Eri di sawah,” sambil mengusap-usap pundakku.
Tak terasa mata ibuku berkaca-kaca mengingat akan pedihnya kehidupan yang penuh perjuangan. Menghidupi anak yang butuh biaya sekolah dan terkadang harus mengutang untuk mencukupinya.
Ibuku memalingkan mukanya, memandang ke dinding rumah yang semi permanen itu sambil menyeka butiran air mata yang hampir jatuh ke pipi.
Beliau memberitahuku bahwa ia sudah tahu tetang kepindahan sekolahku. Ibu diberitahu oleh tetanggaku uni Sari yang merupakan kakak kelasku di sekolah baru itu.
Aku pikir ibu akan memarahiku tetapi asumsi ku salah. Malah beliau takjub atas perubahan yang terjadi pada diriku.
Sampailah pada ujian kenaikan kelas. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Ikut belajar kelompok dengan teman membahas soal-soal yang akan muncul pada ujian. Berkat kegigihanku itu, akhirnya aku mendapat juara 3 di kelasku.
Tak hanya itu saja, pada ujian UN aku mendapatkan urutan nilai kedua tertinggi di sekolah ku itu. Dan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di kota. Guruku sangat bangga padaku atas prestasi yang ku raih saat itu.
Bahkan kedua orangtuaku bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan sehingga anak sulungnya bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Gabung dalam percakapan